-senyuman-

bling...bling

Monday, December 12, 2011

Status Anak Angkat dalam Islam

Status Anak Angkat dalam Islam

Yusuf Qardhawi, ulama kelahiran Mesir tahun 1926 yang sejak tahun 1961 tinggal Doha Qatar, dalam bukunya Halal dan Haram dalam Islam, menguraikan secara singkat perihal pengangkatan anak menurut Islam.

Pada masa jahiliyah, mengangkat anak telah menjadi ‘trend’ bagi mereka, dan anak angkat bagi mereka tak beda dengan anak kandung, yang dapat mewarisi bila ayah angkat meninggal. Inilah yang diharamkan.dalam Islam.

Prof. Dr. Amir Syarifuddin dalam bukunya ‘Hukum Kewarisan Islam’ menyatakan bahwa Hukum Islam tidak mengenal lembaga anak angkat atau dikenal dengan adopsi dalam arti terlepasnya anak angkat dari kekerabatan orang tua asalnya dan beralih ke dalam keekrabatan orang tua angkatnya. Islam mengakui bahkan menganjurkan mengangkat anak orang lain, dalam arti pemeliharaan.

Allah s.w.t. akhirnya menghapus budaya jahiliyah tersebut dengan menurunkan surat Al-Ahzab ayat 4 dan 5: ‘Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu itu sebagai anak-anakmu sendiri, yang demikian itu adalah omongan-omonganmu dengan mulut-mulutmu, sedang Allah berkata dengan benar dan Dia-lah yang menunjukkan ke jalan yang lurus. Panggillah mereka (anak-anak) itu dengan bapak-bapak mereka, sebab dia itu lebih lurus di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka mereka itu adalah saudaramu seagama dan kawan-kawanmu.’ Dengan turunnya ayat tersebut, maka Islam telah menghapus seluruh pengaruh yang ditimbulkan oleh aturan jahiliyah, misalnya tentang warisan dan dilarangnya kawin dengan bekas isteri anak angkat.

Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 75 yang berbunyi: ‘Keluarga sebagian mereka lebih berhak terhadap sebagian menurut Kitabullah,’ dan surat An-Nisa’ ayat 24 yang berbunyi: ‘Dan bekas isteri-isteri anakmu yang berasal dari tulang rusukmu sendiri.’

Secara panjang lebar Allah s.w.t. menjelaskan tentang halalnya mengawini bekas isteri anak angkat, yaitu ketika Rasulullah s.a.w. ragu dan takut bertemu dengan orang banyak ketika akan mengawini Zainab binti Jahsy, karena Zainab adalah mantan isteri Zaid bin Haritsah, atau dikenal dengan Zaid bin Muhammad. Hal ini sebagaimana difirmakan-Nya dalam surat Al-Ahzab ayat 37 – 40.

Pendapat Yusuf Qardhawi tersebut, diamini oleh Ahmad Asy-Syarbashi, sebagaimana dinyatakan beliau dalam bukunya Yas’alunaka, maka haramnya mengangkat anak adalah, apabila nasabnya dinisbatkan kepada diri orang tua yang mengangkatnya. Sedangkan mengangkat anak, apalagi anak yatim, yang tujuannya adalah untuk diasuh dan dididik tanpa menasabkan pada dirinya, maka cara tersebut sangat dipuji oleh Allah s.w.t.

Hal ini sebagaimana dikatakan sendiri oleh Rasulullah s.a.w. dalam hadits riwayat Bukhari, Abu Daud dan Turmudzi: ‘Saya akan bersama orang yang menanggung anak yatim, seperti ini, sambil beliau menunjuk jari telunjuk dari jari tengah dan ia renggangkan antara keduanya.’

Laqith atau anak yang dipungut di jalanan, sama dengan anak yatim, namun Yusuf Qardhawi menyatakan, bahwa anak seperti ini lebih patut dinamakan Ibnu Sabil, yang dalam Islam dianjurkan untuk memeliharanya. Asy-Syarbashi mengatakan bahwa para fuqaha menetapkan, biaya hidup untuk anak pungut diambil dari baitul-mal muslimin. Hal ini sebagaimana dikatakan Umar ibn Khattab r.a. ketika ada seorang laki-laki yang memungut anak, ‘pengurusannya berada di tanganmu, sedangkan kewajiban menafkahinya ada pada kami.’

Ummat Islam wajib mendirikan lembaga dan sarana yang menanggung pendidikan dan pengurusan anak yatim. Dalam kitab Ahkam al-Awlad fil Islam disebutkan bahwa Syari’at Islam memuliakan anak pungut dan menghitungnya sebagai anak muslim, kecuali di negara non-muslim. Oleh karena itu, agar mereka sebagai generasi penerus Islam, keberadaan institusi yang mengkhususkan diri mengasuh dan mendidik anak pungut merupakan fardhu kifayah. Karena bila pengasuhan mereka jatuh kepada non-muslim, maka jalan menuju murtadin lebih besar dan ummat Islam yang tidak mempedulikan mereka, sudah pasti akan dimintai pertanggungjawaban Allah s.w.t.

Karena anak angkat atau anak pungut tidak dapat saling mewarisi dengan orang tua angkatnya, apabila orang tua angkat tidak mempunyai keluarga, maka yang dapat dilakukan bila ia berkeinginan memberikan harta kepada anak angkat adalah, dapat disalurkan dengan cara hibah ketika dia masih hidup, atau dengan jalan wasiat dalam batas sepertiga pusaka sebelum yang bersangkutan meninggal dunia.

Berkaitan dengan banyaknya anak yatim/yatim piatu di Aceh, maka usaha pemerintah dan lembaga-lembaga Islam untuk mendirikan suatu lembaga yang akan mendidik mereka secara simultan, merupakan amalan yang sangat dipuji, dan sejalan dengan perintah Allah s.w.t. Karena bila mereka jatuh ke pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, baik karena ada niat diperjualbelikan (trafficking) atau dididik tidak sesuai dengan Islam (menjadi murtadin), maka ummat Islam di Indonesia akan mengalami kerugian yang luar biasa.

Hukum Anak Angkat Dan Status Kemuhrimannya Dalam Islam

Nasab (keturunan karena pertalian darah) adalah pondasi ikatan keluarga yang paling kuat yang bisa menyatukan anggotanya secara permanen dengan berdasarkan pada kesamaan darah, gen dan turunan. Seorang anak adalah
bagian dari bapaknya dan begitu pula seorang bapak adalah bagian dari anaknya.

Ikatan nasab adalah ikatan keluarga yang sangat kokoh dan mempunyai ikatan yang sangat kuat karena dengannya lahirlah perasaan sayang dan rasa memiliki antara anggotanya. Oleh karena itu Allah telah mengkokohkan keberadaan manusia dengan nasab sebagaimana disebutkan dalam firmanNya:

Wa huwal ladzii khalaqa minal maa-i basyaran fa ja'alahuu nasabaw wa shihraw wa kaana rabbuka qadiiraa.

Dan Dia yang menciptakan manusia dari air, lalu diadakannya pertalian darah dan hubungan perkawinan, dan Tuhan itu Maha Kuasa (Al Furqon: 54).

Oleh karena itu, Islam melarang seorang bapak untuk mengingkari penisbatan anaknya kepadanya, dan melarang seorang ibu untuk menisbatkan anaknya kepada orang yang yang bukan bapaknya. Begitu pula Islam melarang menisbatkan anak-anak kepada orang yang bukan bapaknya.

Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:

Barang siapa yang menisbatkan anak kepada orang tua yang bukan bapaknya padahal ia tahu bahwa ia adalah bukan bapaknya, maka surga haram baginya (HR. Ahmad, Bukhori, Muslim, Abu Daud dan Ibnu Majah.)

Dalam sabda lain disebutkan:

Barang siapa yang menisbatkan anaknya kepada orang yang bukan bapaknya atau membuat pengabdian (mawali) bukan kepada majikan aslinya, maka ia akan mendapatkan kutukan yang berkelanjutan sampai hari kiamat. ( HR. Abu Daud.)

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa Islam telah melarang sistem tabanny (mengangkat anak) dan membatalkan sistem yang telah dipraktekkan pada masa jahiliyah dan masa awal Islam itu.

Pada masa sebelum kenabian Rasulullah saw, Zaid bin Haritsah adalah seorang hamba sahaya dari suku Kalb yang dibeli Hakim bin Hizam untuk dihadiahkan kepada bibinya Siti khadijah, kemudian ketika Siti Khadijah menikah dengan Nabi Muhammad, ia menghadiahkannya kepada suaminya. Pada saat Bapak Zaid dan pamannya datang untuk meminta Rasulullah menyembalikannya, Rasulullah saw memberikan kebebasan kepada Zaid untuk memilih antara keluarganya atau bersamanya, tapi Zaid memilih untuk tetap bersama Rasulullah saw, kemudian beliau membebaskannya. Sejak itulah orang-orang memanggilnya Zaid bin Muhammad.

Tapi keadaan itu tidak berlangsung lama, karena Allah swt telah menurunkan perintahnya yang melarang sistem tabanny dan membatalkan prakteknya, dalam firmanNya:

Maa ja'alallahu li rajulim min qalbaini fii jauhfihii wa maa ja'ala azwaajakumul laa-ii tuzhaahiruuna minhunna ummahaa-akum dzaalikum qaulukum bi afwaahikum wallaahu yaquulul haqqa wa huwa yahdis sabiil.

Allah tiada menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya. Dan Dia tidak menjadikan isteri-isteri kamu yang kamu zhihar itu sebagai ibu-ibu kamu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu menjadi anakmu. Itu
hanyalah perkataanmu dengan mulutmu saja. Dan Allah mengatakan kebenaran dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). (Al Ahzaab 33:4)

Ud'uuhum li aabaa-ihim huwa aqsathu 'indallaahi fa il lam ta'lamuu aaba-ahum fa ikhwaanukum fid diini wa nawaa-liikum wa laisa 'alaikum junaahum fii maa akhtha'tum bihii walaakim maa ta'ammadat quluubuhum wa kaanallaahu ghafuurar rahiimaa.

Panggillah mereka (anak-anak angkat) menurut (nama) bapaknya, hal itu lebih adil pada sisi Allah. Kalau kamu tiada mengetahui bapaknya, mereka menjadi saudara kamu dalam agama dan maula (pengabdi) kamu. Dan tiada dosa atasmu apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Alah Maha Pengampu lagi Maha Penyanyang ( Al Ahzab 33: 5.)

Larangan untuk mengangkat anak dan menjadikannya sebagai anak sendiri adalah sebagai bentuk keadilan dan kebenaran yang harus ditegakan untuk semua pihak, dan hal itu bukan untuk menghalangi umat Islam dalam membantu dan meringankan beban orang lain atau dalam melakukan kebaikan lain, secara khususnya dalam mengurus dan mendidik anak yang tidak ber-orang tua atau mengurus dan mendidik anak yang orang tuanya tidak mampu.

Hal itu bisa dilakukan melalui sistem yang disebut dengan istilah takaful atau kafil (pengasuh) anak yang tidak ber-orang tua atau yang berorang tua tapi tidak mempunyai kemampuan mendidik dan mengurusnya.

Menjadi seorang kafil adalah prilaku yang sangat mulya dan mendapatkan kedudukan yang maha tinggi, hal itu terungkap dalam sabda Rasulullah saw: saya dan kafil/pengasuh anak yatim berada di surga seperti ini, beliau menunjukan telunjuk dan jari tengahnya....... HR. Bukhory.

Menjadi kafil anak yang tidak mampu atau menjadi kafil bagi anak yang tidak ber-orang tua adalah alternatif dari menjadi bapak angkat. Menjadi kafil berbeda maknanya dengan menjadi bapak angkat karena menjadi kafil adalah mendidik anak dan mengurus sampai mereka menjadi anak yang dewasa dan mampu tanpa menjadikana anak tersebut sebagai anak kandungnya dan menyamakannya dalam warisan, gen, pertalian darah serta menisbatkan nama anak kepadanya seolah sebagai anak kandungnya (bapak asli).

Biarkanlah ia tetap menisbatkan namanya kepada bapaknya yang asli dan mendapatkan limpahan rizkinya dari kedermawanan bapak pengasuhnya sebagai sedekah dan bukan sebagai warisan karena anak asuh (atau yang dikenal dengan anak angkat) adalah bukan anak kandung dan berbeda dengan anak kandung dalam banyak hal.

Karena anak asuh (anak angkat) bukan sebagai anak sendiri, maka diapun harus diperlakukan sebagai orang non muhrim apabila ia hidup bersama kita (kecuali apabila ia diberi air susu (ASI sejak bayi) walaupun mempunyai kedekatan emosional kasih sayang yang sangat dekat, tapi tetap saja dia adalah non muhrim bagi orang tua asuhnya.

Maka apabila ia telah menjadi dewasa, maka perlakukanlah dia seperti non muhrim, baik dalam hal pernikahan, menjaga aurat, menjaga pergaulan dan lainnya. Apabila ia masih tetap tinggal bersama orang tua asuhnya, maka hal-hal di atas tetap harus diperhatikan dan ditaati.
Dan itu bisa dilakukan tanpa berjauhan selama komitmen menjalankan syariat tertanam dalam jiwanya.