-senyuman-

bling...bling

Monday, December 12, 2011

Hukum Anak Angkat Dan Status Kemuhrimannya Dalam Islam

Nasab (keturunan karena pertalian darah) adalah pondasi ikatan keluarga yang paling kuat yang bisa menyatukan anggotanya secara permanen dengan berdasarkan pada kesamaan darah, gen dan turunan. Seorang anak adalah
bagian dari bapaknya dan begitu pula seorang bapak adalah bagian dari anaknya.

Ikatan nasab adalah ikatan keluarga yang sangat kokoh dan mempunyai ikatan yang sangat kuat karena dengannya lahirlah perasaan sayang dan rasa memiliki antara anggotanya. Oleh karena itu Allah telah mengkokohkan keberadaan manusia dengan nasab sebagaimana disebutkan dalam firmanNya:

Wa huwal ladzii khalaqa minal maa-i basyaran fa ja'alahuu nasabaw wa shihraw wa kaana rabbuka qadiiraa.

Dan Dia yang menciptakan manusia dari air, lalu diadakannya pertalian darah dan hubungan perkawinan, dan Tuhan itu Maha Kuasa (Al Furqon: 54).

Oleh karena itu, Islam melarang seorang bapak untuk mengingkari penisbatan anaknya kepadanya, dan melarang seorang ibu untuk menisbatkan anaknya kepada orang yang yang bukan bapaknya. Begitu pula Islam melarang menisbatkan anak-anak kepada orang yang bukan bapaknya.

Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:

Barang siapa yang menisbatkan anak kepada orang tua yang bukan bapaknya padahal ia tahu bahwa ia adalah bukan bapaknya, maka surga haram baginya (HR. Ahmad, Bukhori, Muslim, Abu Daud dan Ibnu Majah.)

Dalam sabda lain disebutkan:

Barang siapa yang menisbatkan anaknya kepada orang yang bukan bapaknya atau membuat pengabdian (mawali) bukan kepada majikan aslinya, maka ia akan mendapatkan kutukan yang berkelanjutan sampai hari kiamat. ( HR. Abu Daud.)

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa Islam telah melarang sistem tabanny (mengangkat anak) dan membatalkan sistem yang telah dipraktekkan pada masa jahiliyah dan masa awal Islam itu.

Pada masa sebelum kenabian Rasulullah saw, Zaid bin Haritsah adalah seorang hamba sahaya dari suku Kalb yang dibeli Hakim bin Hizam untuk dihadiahkan kepada bibinya Siti khadijah, kemudian ketika Siti Khadijah menikah dengan Nabi Muhammad, ia menghadiahkannya kepada suaminya. Pada saat Bapak Zaid dan pamannya datang untuk meminta Rasulullah menyembalikannya, Rasulullah saw memberikan kebebasan kepada Zaid untuk memilih antara keluarganya atau bersamanya, tapi Zaid memilih untuk tetap bersama Rasulullah saw, kemudian beliau membebaskannya. Sejak itulah orang-orang memanggilnya Zaid bin Muhammad.

Tapi keadaan itu tidak berlangsung lama, karena Allah swt telah menurunkan perintahnya yang melarang sistem tabanny dan membatalkan prakteknya, dalam firmanNya:

Maa ja'alallahu li rajulim min qalbaini fii jauhfihii wa maa ja'ala azwaajakumul laa-ii tuzhaahiruuna minhunna ummahaa-akum dzaalikum qaulukum bi afwaahikum wallaahu yaquulul haqqa wa huwa yahdis sabiil.

Allah tiada menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya. Dan Dia tidak menjadikan isteri-isteri kamu yang kamu zhihar itu sebagai ibu-ibu kamu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu menjadi anakmu. Itu
hanyalah perkataanmu dengan mulutmu saja. Dan Allah mengatakan kebenaran dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). (Al Ahzaab 33:4)

Ud'uuhum li aabaa-ihim huwa aqsathu 'indallaahi fa il lam ta'lamuu aaba-ahum fa ikhwaanukum fid diini wa nawaa-liikum wa laisa 'alaikum junaahum fii maa akhtha'tum bihii walaakim maa ta'ammadat quluubuhum wa kaanallaahu ghafuurar rahiimaa.

Panggillah mereka (anak-anak angkat) menurut (nama) bapaknya, hal itu lebih adil pada sisi Allah. Kalau kamu tiada mengetahui bapaknya, mereka menjadi saudara kamu dalam agama dan maula (pengabdi) kamu. Dan tiada dosa atasmu apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Alah Maha Pengampu lagi Maha Penyanyang ( Al Ahzab 33: 5.)

Larangan untuk mengangkat anak dan menjadikannya sebagai anak sendiri adalah sebagai bentuk keadilan dan kebenaran yang harus ditegakan untuk semua pihak, dan hal itu bukan untuk menghalangi umat Islam dalam membantu dan meringankan beban orang lain atau dalam melakukan kebaikan lain, secara khususnya dalam mengurus dan mendidik anak yang tidak ber-orang tua atau mengurus dan mendidik anak yang orang tuanya tidak mampu.

Hal itu bisa dilakukan melalui sistem yang disebut dengan istilah takaful atau kafil (pengasuh) anak yang tidak ber-orang tua atau yang berorang tua tapi tidak mempunyai kemampuan mendidik dan mengurusnya.

Menjadi seorang kafil adalah prilaku yang sangat mulya dan mendapatkan kedudukan yang maha tinggi, hal itu terungkap dalam sabda Rasulullah saw: saya dan kafil/pengasuh anak yatim berada di surga seperti ini, beliau menunjukan telunjuk dan jari tengahnya....... HR. Bukhory.

Menjadi kafil anak yang tidak mampu atau menjadi kafil bagi anak yang tidak ber-orang tua adalah alternatif dari menjadi bapak angkat. Menjadi kafil berbeda maknanya dengan menjadi bapak angkat karena menjadi kafil adalah mendidik anak dan mengurus sampai mereka menjadi anak yang dewasa dan mampu tanpa menjadikana anak tersebut sebagai anak kandungnya dan menyamakannya dalam warisan, gen, pertalian darah serta menisbatkan nama anak kepadanya seolah sebagai anak kandungnya (bapak asli).

Biarkanlah ia tetap menisbatkan namanya kepada bapaknya yang asli dan mendapatkan limpahan rizkinya dari kedermawanan bapak pengasuhnya sebagai sedekah dan bukan sebagai warisan karena anak asuh (atau yang dikenal dengan anak angkat) adalah bukan anak kandung dan berbeda dengan anak kandung dalam banyak hal.

Karena anak asuh (anak angkat) bukan sebagai anak sendiri, maka diapun harus diperlakukan sebagai orang non muhrim apabila ia hidup bersama kita (kecuali apabila ia diberi air susu (ASI sejak bayi) walaupun mempunyai kedekatan emosional kasih sayang yang sangat dekat, tapi tetap saja dia adalah non muhrim bagi orang tua asuhnya.

Maka apabila ia telah menjadi dewasa, maka perlakukanlah dia seperti non muhrim, baik dalam hal pernikahan, menjaga aurat, menjaga pergaulan dan lainnya. Apabila ia masih tetap tinggal bersama orang tua asuhnya, maka hal-hal di atas tetap harus diperhatikan dan ditaati.
Dan itu bisa dilakukan tanpa berjauhan selama komitmen menjalankan syariat tertanam dalam jiwanya.

No comments:

Post a Comment